JAKARTA – Pasca- meningkatnya angka positif covid-19 di Indonesia terutama di DKI Jakarta dalam beberapa hari terakhir diperkirakan akan mempengaruhi perekonomian dalam negeri.
Perpanjangan masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro selama 15-28 Juni 2021 imbas peningkatan angka covid-19 diperkirakan angka menekan laju pertumbuhan positif yang mulai berjalan selama kuartal II-2021.
Sentimen negatif ini sempat berdampak pada pelaku pasar yang tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berada di stage 6.078,57 atau turun 10,47 poin pada perdagangan Rabu 16 Juni 2021.
Baca Juga: BI Beli Surat Berharga Negara Rp115,87 Triliun
Kondisi yang tidak mudah ini dikhawatirkan akan mempengaruhi pilihan investor khususnya asing untuk menempatkan dana di pasar keuangan Indonesia baik melalui instrumen saham maupun Surat Berharga Negara (SBN).
Di lain pihak, berdasarkan analisis PT Bahana TCW Funding Control (Bahana TCW), dalam jangka pendek kondisi pasar keuangan Indonesia khususnya perdagangan SBN masih akan atraktif khususnya bagi investor asing.
“Terlepas dari adanya sentimen negatif di pasar akibat merebaknya kasus Covid-19 di Indonesia, namun kami melihat stabilitas pasar SBN dapat tetap terjaga di tahun ini. Kami melihat ada sejumlah faktor yang akan mempengaruhi ekspektasi investor dalam berinvestasi di SBN yaitu stabilitas ekonomi Indonesia, yield SBN kita yang masih tinggi dan likuiditas di pasar global yang masih berlebih. Stabilitas ekonomi dan yield SBN yang tinggi kami perkirakan masih akan mampu menarik investor asing ke Indonesia,” kata Direktur Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Budi Hikmat dalam risetnya, Jakarta, Sabtu (19/6/2021).
Baca Juga: Investor! Pasar SBN Masih Menarik hingga Akhir Tahun, Ini Faktornya
Saat ini, stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga. Nilai tukar rupiah yang stabil, inflasi terjaga di bawah goal, neraca perdagangan Mei surplus USD2,36 miliar dan juga BI kemungkinan akan tetap menjaga suku bunga acuan sebesar three,five% yang membuat actual charge Indonesia tetap positif dan menunjukkan kebijakan moneter yang prudent.
Sementara itu, rilis knowledge makro di Amerika Serikat di mana angka inflasi melonjak hingga five% (YoY) yang sempat menimbulkan spekulasi kebijakan percepatan tappering oleh The Fed dan dapat memicu capital influx dalam waktu dekat.
Budi menjelaskan bahwa sepertinya knowledge inflasi AS tidak akan begitu berpengaruh bagi investor world karena inflasi AS sebesar five% tersebut bersifat temporer. Hal ini terlihat dari penyumbang terbesar angka inflasi AS adalah kenaikan biaya transportasi dalam hal ini harga mobil bekas. Sementara indikator utama seperti harga bahan pokok masih terkendali.

Budi menambahkan bahwa The Fed juga menyatakan hal yang sama bahwa inflasi hanya bersifat temporer dan akan segera membaik. Dalam proyeksi terbaru, Fed menunjukan inflasi mulai turun pada tahun 2022. Akibatnya, ekspektasi inflasi pasar jangka panjang berangsur turun. Adapun rilis opini anggota Fed mensinyalkan kenaikan suku bunga baru akan terjadi pada tahun 2023.
“Sedangkan taper kami perkirakan baru akan dimulai pada awal 2022 mendatang. Menurut pandangan kami, saat ini pelaku pasar global percaya dengan sinyal yang diberikan oleh The Fed bahwa kebijakan moneter masih akan tetap akomodatif, setidaknya hingga akhir tahun ini,” katanya.
Dengan kondisi seperti ini, diperkirakan pelaku pasar world akan tetap menyalurkan likuiditas yang berlebih di pasar rising marketplace yang masih menawarkan yield yang tinggi hingga akhir tahun ini. Yield SBN Indonesia tenor 10 tahun sebesar 6,57 persen dipandang masih menarik dibandingkan yield obligasi tenor 10 tahun AS yang diperkirakan dalam kisaran antara 1,37-1,88%.
Ini terlihat dari dana asing yang masuk ke SBN in keeping with tanggal 15 juni sebesar Rp6,6 tiliun.
“Kami memperkirakan tren positif net buy asing di pasar SBN akan terus berlanjut selama Semester II tahun ini,” tutup Budi.